RENUNGAN : Kenapa Istriku Malas – Malasan dan tidak sedap dipandang?

Published by LPPA Nasional on

RENUNGAN : Kenapa Istriku Malas – Malasan dan tidak sedap dipandang?

“Mbak ….”

Suara seorang lelaki. Aku yang tengah memilih tomat, seketika menoleh.

Lelaki berkemeja slimfit warna biru muda, bercelana kain hitam, dan juga bersepatu fantofel mengkilap berwarna hitam pekat. Dia, pemilik suara yang memanggilku.

Meski bermasker, aku bisa tahu dari sorot mata dan juga gesture-nya jika dia sedang kebingungan.

“Nggih, pripun, Pak?” tanyaku.

Lelaki itu, dia kini menggaruk kepalanya yang aku yakin sebetulnya tidak gatal. Itu tadi. Gesture yang menunjukkan jika dia kebingungan.

“Nganu … ini … istri saya nyuruh saya beli labu yang untuk kolak. Saya bingung labunya yang mana. Yang ijo ini apa yang kuning-kuning oren ini.”

Begitu katanya.

Keren juga, batinku.

Lelaki berpenampilan necis begini, mau dimintai tolong istrinya untuk berbelanja.

Aku tahu, banyak lelaki yang begini, hanya saja, bagiku, lelaki seperti ini layak diapresiasi karena tidak sedikit juga lelaki yang embuh, yang bahkan menertawakan lelaki lain yang mau membelikan pembalut bagi istrinya.

“Oh, kalau untuk kolak yang oren ini, Pak. Yang ijo untuk disayur,” jelasku.

Lelaki itu kembali menggaruk kepalanya. Apalagi yang dibingungkan olehnya?

“Nganu, Mbak. Itu … cara milih labu yang bagus itu gimana, ya?” tanyanya. Aku mesem, sedikit tertawa.

“Sini saya bantu pilihkan,” tawarku.

“Kalau milih labu kuning itu lihat kulitnya, Pak. Yang mulus begini, itu bagus. Nah kalau yang ada bintik hitam atau putih begini, itu biasanya tanda kalau labunya pernah jatuh atau kebentur. Takutnya dalemnya jadi bosok (busuk),” jelasku. Sepertinya lelaki itu menyimak penjelasanku.

“Terus, pilih yang berat, Pak. Turene (katanya) sih kalau berat, tandanya kandungan air dalam labu cukup dan labu sudah matang.” Aku terus bicara.

Kuangkat sebuah labu yang tadi kupegang dan kuketuk beberapa kali.

“Itu biar apa Mbak diketuk-ketuk gitu?” tanya lelaki itu.

“Oh, ini juga buat ngecek sudah mateng belum labunya.” Aku sejenak menjeda.

“Kalau pas diketuk bunyinya gini, kayak ada rongga di dalem buahnya, artinya labu sudah matang.” Aku menutup penjelasan.

“Monggo, labunya, Pak. Mau satu saja atau mau berapa?” tanyaku, setelah menyodorkan sebuah labu pada lelaki itu.

“Satu saja, Mbak,” jawabnya.

🍁

“Mbak pulang kerja juga, ya?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk.

“Nggih, Pak. Sekalian mampir. Baru inget kalau saya sudah kehabisan bahan masakan untuk nanti masak makan malam,” jawabku seraya mengambil seikat seledri dan daun bawang.

“Mbak di rumah ada ART?” tanyanya. Aku menggeleng.

“Jadi, Mbak masak sendiri?” tanyanya lagi. Aku mengangguk.

“Iya, Pak. Masak sendiri. Pulang kerja gini, biasanya saya sampai rumah langsung masak sambil nunggu Maghrib. Setelah itu mandi, salat, makan malam sama suami dan anak,” jelasku.

Lelaki itu mengekorku. Entah karena dia masih ingin mengobrol denganku, atau karena dia masih butuh bantuanku.

“Kalau pagi gimana, Mbak? Masak sendiri juga?” tanyanya lagi. Aku mengangguk untuk kesekian kali.

“Wah, padahal harus ngantor pagi, kan?” Dia kembali menanggapi.

“Iya, Pak. Saya ngantor masuk jam 8 pagi, tapi anak dan suami jam 7 pagi. Jadi ya saya harus lebih gasik (pagi) masaknya buat sarapan dan buat bekal buat anak, suami, dan juga saya sendiri,” jelasku panjang lebar.

Lelaki itu menghela napas panjang. Aku bisa mendengarnya.

“Kenapa e, Pak?” tanyaku.

Heran saja. Entahlah. Aku rasa, dia justru tampak frustasi dengan penjelasanku tadi.

“Coba saja istri saya kayak njenengan, Mbak,” ucapnya. Aku mengernyit. Duh aduh … apa ini maksudnya?

“Kayak saya pripun, to?” tanyaku.

“Istri saya itu Mbak, jian … males-malesan. Jangankan masak. Lha diri sendiri saja nggak diperhatikan. Sampai sepet rasanya saya. Blas nggak sedep dipandang,” jawabnya.

Duh, Gusti ….

“Lha ini Mbak kerja, berangkat pagi, pulang sore begini. Tapi masih tetap bisa masak ngurusin anak dan suami. Pulang kerja begini juga Mbak masih rapi. Masih seger. Wangi. Ini kalau saya sampai rumah, wis, bisa dipastikan bagaimana bentukan istri saya. Marai mbededeg (bikin sebel), Mbak.”

Lelaki ini … duh, kok bisa dia enteng sekali bicara begini? Membandingan istrinya dengan perempuan lain seperti ini?

Wis, apresiasiku tadi kucabut lagi.

Lagipula, bagaimana dia bisa menyimpulkan seger, padahal aku tertutup masker?

Fix, aku yakin itu kesimpulan hanya karena dia melihat perempuan lain ini berpakaian rapi ala kantoran, lalu otaknya membandingkan dengan penampilan istrinya di rumah. Karenanya, tercetuslah kesimpulan ‘masih seger’ ini.

“Istri saya itu padahal nggak kerja. Cuma ngurus satu anak yang belum genap 2 tahun saja kok ya, ya Allah …, amburadul semuanya.”

Lelaki itu masih terus membicarakan istrinya.

Apa dia bilang?

Cuma?

Cuma ngurus satu anak?

CUMA?

C U M A!

“Saya itu jujur capek Mbak. Pulang kerja ya pengennya buru-buru sampai rumah, terus selonjoran, ngelurusin badan. Ini kok malah dititipi ini itu. Padahal istri saya kudune bisa beli sendiri ke sini wong rumah saya dekat.”

Duh!

Gaplok-able sekali, Anda, Pak.

🍁

“Ngapunten, Pak.”

Aku mulai bicara. Aku tidak sanggup mendengarnya terus menerus mengeluhkan soal istrinya.

“Ngurus anak, apalagi anak kecil seusia anak Bapak yang sedang aktif-aktifnya playonan (lari-larian) itu bukan cuma. Itu rekoso (berat) banget, Pak,” ucapku, seraya sekuat tenaga menahan gejolak emosi. Sebagai sesama perempuan, rasanya aku turut tersakiti mendengarnya seperti ini.

“Garwane (istri) njenengan dibantu ART, Pak?” tanyaku. Lelaki itu menggeleng.

“Dibantu mertua atau orang tua?” tanyaku lagi. Dia tetap menggeleng.

“Dulu saat anak saya masih kecil, saya juga ngurusi semuanya sendiri. Nggak ada ART, jauh dari mertua dan orang tua. Rasanya? Jangan ditanya, Pak. Kayak saya orang paling lelah sedunia.”

Aku menjeda.

“Jangankan merawat diri sendiri. Lha mau makan saja susah. Mau pipis, susah. Mandi apalagi. Itu tadi. Karena prioritas saya ya anak saya.” Aku menjeda lagi.

“Anak Bapak terawat mboten?” tanyaku. Dia mengangguk.

“Iya sih, Mbak. Kalau saya pulang kerja, anak saya sudah bersih, wangi, sudah makan.”

Dia melirihkan suara. Apa penjelasanku mulai bisa dia cerna arahnya ke mana?

“Kalau njenengan pengen dhahar (makan) masakan istri, coba njenengan bantu ambil alih pekerjaan rumahnya. Ambil alih anak, misalnya. Biar istri Bapak bisa masak tanpa khawatir soal anak Bapak. Usia jelang 2 tahun itu sudah playon (lari-larian) kan? Sudah pecicilan. Kalau nggak ada yang bantu jaga, gimana istri Bapak mau masak? Jangankan masak. Kasarane (ibaratnya) bikin Indomie, mbok yakin, pasti dia nggak sempat makan Indomie-nya sampai mblenyek.”

Panjang lebar aku bicara. Biar saja. Biar lelaki ini mengerti.

“Apalagi? Ingin garwane (istrinya) sedap dipandang? Ya sama. Bantu ambil alih kesibukannya. Biar dia punya waktu memerhatikan dirinya.”

Lagi. Jeda kesekian lagi.

“Lagipula, ini kan nggak selamanya, Pak. Nanti kalau anak sudah lebih gede, sudah lebih mandiri, istri Bapak juga pasti bisa sedep dipandang lagi, wangi lagi, seger lagi.”

Huft … kuhela napas cukup panjang sebelum kalimatku kulanjutkan.

“Istri Bapak sampai begini, itu karena dia memprioritaskan anak Bapak.”

Kuhela napas lagi.

“Dulu saat anak saya masih kecil, saya juga nggak begini, Pak. Amburadul saya. Sekujur badan bau asi, bau muntahan bayi. Sampai kalau pergi gendong anak saya, ke mall misalnya, sering saya dikira nanny-nya. Lha anak saya resik, putih, wangi, tapi saya ala kadarnya. Buluk pol-polan.”

Jeda lagi.

“Begitu anak saya sudah lebih besar, nah, barulah saya bisa lebih memerhatikan diri saya sendiri lagi.”

Kuambil seikat seledri lagi sebelum kumasukkan ke keranjang, kuhidu wanginya yang khas, teramat aku sukai.

“Lalu saya pulang kerja kok masih seger, masih wangi, lha gimana nggak seger. Saya kerja di ruangan ber-AC. Sementara istri Bapak, pasti seharian ngejar-ngejar anak Bapak yang lagi seneng jalan. Panas-panasan. Keringetan.”

Jeda lagi, kesekian lagi.

“Saya masih wangi juga karena sebelum pulang, saya parfuman lagi. Lha istri Bapak?”

Lelaki itu menghela napas.

“Istri Bapak mungkin bau nggak enak, tapi Pak, itu BUKAN bau kemalasan. Itu bau PENGORBANAN.”

Kututup kalimat panjang lebarku. Semoga kalimat-kalimatku meruncing dan menusuk hati lelaki yang kini berdiri di hadapanku.

🍁

“Itu suami saya, Pak.”

Selesai membayar, aku dan lelaki itu keluar hampir bersamaan. Jari telunjukku terarah pada sesosok lelaki yang sedang duduk di sebuah kursi di parkiran. Suamiku.

“Dulu waktu anak saya masih kecil, dia yang menyiapkan makanan, walau pun beli matengan. Cuci piring, nyapu, ngepel, dia yang sering melakukan. Nyuci? Laundry. Katanya nggak tega lihat saya sudah kelelahan. Nggak pernah protes dia.”

Jeda.

“Sampai sekarang juga kami masih laundry. Paling saya cuma nyuci pakaian tertentu saja. Kalau saya masak, dia sering bantu nyuci perkakas bekas masaknya. Lalu rumah saya. Apa selalu rapi? Nggak, Pak. Saya ulahi (tangani) sekenanya. Kalau saya lelah, suami yang bersihin, dan sebaliknya. Kalau lelah semua, ya sudah biarkan dulu nggak usah ngoyo. Ya begitu, Pak. Kerjasama. Sakjane semua itu tugas bersama, kan?”

Lelaki itu diam saja.

“Nggih pun, Monggo, Pak. Salam kagem garwa (untuk istri),” pamitku.

Lelaki itu masih mematung saat aku pergi. Semoga saja dia benar-benar mengerti akan penjelasan-penjelasan panjangku tadi.

🍁

*Sedikit dramatisasi dari kejadian beberapa waktu lalu dengan seorang lelaki, di sebuah tempat perbelanjaan kebutuhan sehari-hari.

Story By : Mimi Hamida